Lusuhnya kain bendera Indonesia di halaman sekolah tidak menjadikan semangat Ibu Ratna untuk mengajar pun ikut lusuh. Malah Ibu Ratna makin bersemangat saja memberikan pelajaran di dalam kelas. Suaranya begitu nyaring terdengar. Belajar sambil bernyanyi; bernyanyi sambil belajar. Seluruh siswa dari kejauhan sudah pasti mengenal suara tersebut. Guru-guru di SD Niniki juga tidak asing lagi mendengarkan suara Ibu Ratna.
Interaksi Ibu Ratna dengan guru-guru di lingkungan sekolah juga sangat baik. Kesehariannya Ibu Ratna tidak ragu dan malu untuk bertanya kepada guru-guru di sekolah. Bagaimana cara memberi pelajaran kepada siswa di kelas pada saat awal-awal mengajar dahulu. Bagaimana cara berinteraksi dengan siswa agar lebih menyatu. Bertanya tentang kondisi perkembangan siswa dan arah kembang minat siswa. Bertanya tentang ragam budaya masyarakat setempat agar bisa diterima baik. Tidak ada keraguan dalam hati Ibu Ratna untuk bertanya.
Begitu juga dengan berbagi. Guru-guru di sekolah juga senang ketika Ibu Ratna berbagi ilmu. Ibu Ratna tidak berbesar kepala menjadi seseorang yang merasa pandai. Justru saat ia berbagi pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan; di sana ia pun merasa semakin sadar akan posisinya. “Kita bukan orang yang tahu hendak menolong orang yang tidak tahu. Kita ini orang-orang tidak tahu, karena itu kita membutuhkan persatuan dan organisasi di antara orang-orang tidak tahu,” ucap Ibu Ratna kepada seluruh guru di ruangan kelas. Dengan ketidaktahuan itu, maka kita akan menjadi tahu dan berbuat lebih baik untuk diri ini dalam membangun pendidikan di sekolah guna masa depan generasi Papua; generasi Indonesia,” tambahnya begitu semangat.
“Tara kosong ko Ibu Ratna,” teriak Bapak Guru Mathius Gombo dari arah belakang kelas. “Ko seperti Ibu Megawati saja.” Gelak tawa begitu ramai dalam ruang kelas saat itu. Sungguh kehadiran Ibu Ratna di sekolah menambah aura positif untuk guru-guru di SD Niniki.
Pekanbaru, 11 Februari 2018
Sumber photo: Fauzan