Mengabdi selama 1 tahun di daerah pedalaman Indonesia melalui program SM-3T tahun 2012 lalu, tidak menyurutkan langkah saya untuk terus belajar. Saat itu seorang dosen saya di UPI mengatakan walaupun bertugas di daerah pedalaman, para guru SM-3T tetap harus meningkatkan kompetensi yang diharapkan dimilliki seorang guru. Keempat kompetensi yang dimaksud yaitu berrkaitan dengan kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Karena mengajar di daerah terpencil bukan berarti mengajar dengan seenak hati, namun bagaimana kita mengajar dengan hati kepada siswa-siswa yang merupakan harta berharga ini.
Banyak hikmah yang dapat kita petik ketika terjun mengabdi ke daerah terdepan, terluar, dan tertinggal ini. Di antaranya membuka mata dan hati kita tentang keadaan pendidikan secara realita di negeri ini. Jika di kota besar kita merasa kesulitan mengajar karena bertumpuknya guru dengan latar belakang jurusan yang sama, jangan dibayangkan di daerah 3T seperti itu. Di sana satu sekolah terkadang hanya memiliki kepala sekolah yang merangkap sebagai pengajar semua mata pelajaran. Selain itu kondisi bangunan dan jalanan ke sekolah yang masih dikategorikan tidak layak, sangat sering kita temui. Terkadang saat banjir datang, para guru dan siswa harus berbasah-basahan melintasi jalan dengan menenteng sepatu. Saat musim kemarau, jalanan kering dan berdebu. Ditambah kondisi siswa yang berbeda dengan di perkotaan. Banyak siswa yang absen tidak masuk sekolah karena harus nderes karet, ataupun membantu mamaknya di pajak (pasar) untuk mengangkut barang. Benar-benar hal baru yang tidak dapat kita temui saat mengajar di kota-kota besar.
Saat itu saya ditempatkan di sebuah Dusun Akoja (Aceh Kongsi Jawa). Sehingga siswa keturunan Aceh dan Jawa lah yang menjadi sahabat selama saya bertugas. Dari mereka pun saya banyak belajar. Belajar untuk mengendalikan diri, emosi, dan hati. Sering di dalam kelas, siswa berbeda suku ini saling melontarkan bahan ejekan yang tidak jarang berujung dengan pertengkaran dan perkelahian. Tantangan yang sangat besar bagi saya untuk dapat menciptakan kelas yang nyaman untuk mereka, menjadi penengah yang tidak berat sebelah, dan selalu menjadi sahabat bagi mereka. Mendidik mana yang seharusnya dan yang tidak seharusnya siswa lakukan. Tidak dengan cara menggurui, tapi lebih ke saling berbagi. Tidak dengan cara kekerasan, namun tetap dengan sebuah ketegasan.
Dari SM-3T pula saya mendapatkan banyak kekayaan. Dengan merantau dari Bumi Pasundan ke Tanah Rencong ini, saya kaya akan saudara. Meninggalkan keluarga tercinta, dan Allah pun menambah banyak saudara. Bahkan hingga hari ini pun, kami tetap berkomunikasi untuk menjaga silaturahmi. Dengan SM-3T pun, memperkaya ilmu. Mengenalkan kimia dan fisika di bangku SMA, dengan fasilitas seadanya menjadi tantangan untuk dapat berinovasi dalam setiap materi. Dan dari SM-3T pun saya semakin sadar, Indonesia itu sangat kaya. Kaya budaya dan makanan nusantara. Di sini saya mengenal tarian tanah Aceh ini tidak hanya tari saman, namun masih banyak tarian lainnya. Dan di Aceh pula saya baru merasakan buah pinang, sayur pliek ue, dan makanan lainnya. Di sini saya mengenal indahnya nusantara.
Pasca SM-3T, kami pun mendapatkan beasiswa PPG. Banyak hikmah pula yang dapat saya petik dari Pendidikan profesi Guru selama 1 tahun di UPI Bandung. Kedisipilinan, pengetahuan, dan persaudaraan yang kembali mengasah profesionalitas diri untuk menjadi seorang pendidik yang mumpuni. Walaupun pasca PPG saya memilih jalur lain yaitu untuk sekolah kembali dan tidak langsung mengikuti seleksi GGD, tapi semangat mengabdi pada negeri akan tetap saya jaga dan tumbuhkan. Keinginan melanjutkan sekolah kembali merupakan kenangan akan pemenuhan janji antara saya dan (Alm) Winda saat mengikuti program SM-3T lalu. Kami berdua berkeinginan berbagi pada negeri, dan melanjutkan pendidikan sebisanya untuk meningkatkan kemampuan. Dengan berbekal keyakinan, saya pun memutuskan untuk mengikuti seleksi beasiswa LPDP tahun 2014, sesaat sebelum kelulusan PPG.
Berbagai pengalaman yang tidak pernah habis untuk saya ceritakan tadi mengantarkanku ke sini, ke Negeri Sakura. Saat wawancara beasiswa LPDP tahun 2014 lalu, para Profesor dan Psikolog bertanya tentang sebuah pengalaman hidup yang berharga. Di sana saya bercerita bagaimana indahnya berbagi dengan anak-anak negeri di daerah 3T ini. Dan alhamdulillah, sekarang saya mendapatkan kesempatan utnuk belajar di Universitas Hiroshima. Mengenal sistem pendidikan di Jepang yang sangat rapi, disiplin, dan menerapkan pengetahuan ke dalam keseharian. Saya berkeinginan untuk mengambil banyak pelajaran di sini, yang kelak bisa kembali saya bagikan pada negeri saya, Indonesia.