“Hidup Sekali, Berarti, lalu Mati”. Ini bukan kata-kata hasil anyaman saya, melainkan sebuah judul buku yang ditulis Ahmad Rifa’i Rif’an. Pun, saya tidak sedang meresensi buku, hanya saja membagikan sebuah kata motivasi yang ada di dalamnya.
Ada yang mengisi hari dengan beragam kontribusi. Namun ada pula sekelompok manusia yang hidupnya hanya memperjuangkan kesenangan dan kebahagiaan diri sendiri. Tak penting mereka siapa. Yang lebih penting, kita yang mana?
Butuh waktu yang berkelanjutan untuk merenungkan bait ini . Saban hari, tak jarang saya harus mengintimidasi air mata agar jangan sampai menghujani. Ternyata tidak enak mengintimidasi, walau sekadar air mata. Membolak-balik memori di tahun yang lampau. Kebersamaan. Begitu indah untuk dikenang, namun menghadirkan haru jika diingat kembali. Ingin memutar balik waktu? Itu hanya khayalan saja wahai anak muda! Sebab waktu bukan oreo yang bisa diputar. Kini semuanya telah berjarak. Para motivator seakan pergi. Saling berpencar menjejali semua ufuk. Menyusuri semua keragaman di negeri ini. Mendedikasikan diri kembali pada latar yang telah disahkan padanya masing-masing. Dari kejauhan ini, saya membaca cerita mereka. Tentang peluh dan sendu, dianyam menjadi aksara yang terkadang sayu di dinding-dinding bisu. Tentang suka, juga menjadi cerita yang tidak kalah bahagianya.
Dulu, semangat saling menggebu. Meracik A hingga Z, lalu merealisasi. Kini, seiring menggelindingnya waktu, kondisi pun akan berubah. Apalagi setiap nada yang membersamai kita bukan lagi nada yang dulu. Ada nada-nada baru yang sama juga nada yang berbeda. Jika senada, begitu mudah untuk melangkah bersama. Namun jika sebaliknya, maka butuh resistensi ruh untuk semua itu. Hanya sepasang kaki yang berbeda yang mudah untuk diajak melangkah bersama.
Merefleksi diri saban waktu, semakin menyadari bahwa kebersamaan mampu menguatkan motivasi. Namun menumbuhkan dan merawat motivasi itu tetap kembali pada pribadi. Sebab motivator itu ternyata adalah diri kita sendiri. Setelahnya baru orang lain yang memberi dukungan dan dorongan. Dan ketika semua motivasi itu saling berhimpun, maka semakin kuatlah motivasi. Begitu terasa perbedaan di prolog dan semi yang sedang dilakoni saat ini. Menemui nada-nada yang jauh lebih lata. Menyelaraskan beberapa pasang kaki untuk berada pada nada yang sama, tidak mudah.
Namun, resistensi yang sejak awal telah dicadangkan menjadi antibodi yang membantu. Sebelum ini, kita telah saling mempersiapkan, saling meyakini bahwa pemisahan jarak adalah sebuah konsekuensi. Sebab setiap pilihan ada konsekuensinya. Dari jauh kita senantiasa mendoakan, saling menggerakkan, memberi inspirasi serta merawat motivasi untuk berupaya berkontribusi. Walau yang dirasa, dulu tak serupa kini. Namun visi misi masih tetap sama bukan? Selamat merawat motivasi, Nur.
Anambas, 14 Januari 2018
Wa ila rabbika farghob
Keep tawadhu
-Juniar Sinaga-