Saya baru mendapatkan clue point setelah hampir 2 bulan mengajar di sekolah ini. Apa itu tematik? Apa bedanya dengan kurrikulum KTSP dan kurikulum lainnya yang pernah dilaksanakan di Indonesia. Secara, ini adalah kali pertama saya terjun mengajar sekolah dasar dengan amanah sebagai guru mata pelajaran. Di semester depan, saya diamanahkan sebagai guru kelas. Meskipun sewaktu saya SM-3T itu mengajar di SD, tapi tujuan utama pembelajarannya sudah berbeda. Sewaktu itu, kami hanya berfokus pada penuntasan calistung di 3 bulan pertama. Sehingga waktu itu kami tidak terlalu dibingungkan dengan kurrikulum. Semua kelas merata belajar calistung. Sementara kelas 6, di bulan-bulan berikutnya mulai mempelajari pelajaran lain dan harus mengejar materi untuk persiapan ujian nasional. Lain waktu, saya akan ceritakan lagi tentang masa-masa indah dan membanggakan itu. Pernah juga ketika di kampung halaman, saya masuk mengajar SD khusus untuk mengampu ekstrakurikuler menulis. Itu juga jelas berbeda dengan keadaan sekarang yang menuntut saya harus cepat belajar dan memahami situasi.
Penerapan pembelajaran tematik sesungguhnya sudah sejak lama. Sejak awal kurrikulum 2013 mulai diterapkan pada semester ganjil 2013. Saya ingat betul ketika itu seorang teman yang baru saja diterima sebagai guru di sebuah SD sangat kebingungan. Hari pertama ia menjadi guru, ia harus langsung membuat RPP dan melaksankan K-13 secara keseluruhan. Sementara itu, guru-guru yang sudah lama mengajar di SD saja masih kebingungan dengan penerapan K-13. Terlebih karena sudah terbiasa dengan metode ceramah.
Tapi hari ini, saya menemukan clue point. Saya berusaha meyakini bahwa tematik itu seyogyanya diimplementasikan sebagai belajar rasa bermain. Itu clue point yang saya maksudkan. Kalau dulu orang-orang tua kita mengatakan, belajar sambil bermain. Hari ini saya mengatakan belajar itu adalah bermain. Bermain itu adalah belajar. Tidak ada unsur kegiatan yang tidak bermanfaat dari kegiatan belajar dan bermain ini.
Saat kita menginterpretasikan belajar itu adalah bermain, maka buatlah pembelajaran itu semenarik permainan. Di dalam buku-buku tematik tersebut sebenarnya sudah cukup mewakili. Terkadang siswa diajak untuk bermain bola zig-zag di dalam kelas. Siswa senang. Tujuan pembelajaran pun bisa dicapai karena di dalam permainan itu guru menerangkan tentang pentingnya berlatih dan fokus. Dengan ringan, siswa akan melakukan itu semua. Setelah itu, kita bisa meminta siswa untuk menghitung berapa kali ia melakukan pelemparan dengan baik dan buruk. Sehingga mereka bisa menghitung jumlah lemparan yang mereka lakukan dalam waktu yang diberikan oleh guru.
Begitu juga hendaknya ketika kita menginterpretasikan bermain itu adalah belajar. Kita sebagai guru akan selektif memilih permainan yang sekiranya menyenangkan dan menarik minat siswa tapi juga berkaitan dengan pelajaran dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
Contoh sederhananya, pada siswa yang sedang mempelajari tentang kecepatan, jarak dan waktu. Ketika siswa begitu asyik main stik ice cream. Kita sebagai guru bisa saja menimbrung dan memberikan arahan kepada mereka agar bermain stik dengan baik dan fokus. Ketika mereka menghentakkan tangannya ke stik miliknya dan kemudian stik itu berpindah ke stik milik temannya, minta mereka menghitung jarak dan waktu stik tersebut berpindah. Dari situ mereka akan dapat mengukur kecepatan perpindahan stik.
Saya merasa anak-anak di sini memiliki minat belajar yang masih rendah. Perlahan tapi pasti, saya yakin mereka akan berssemangat ke depannya. Tetap optimis. Pembelajaran tematik yang disusun sebenarnya sudah cukup mewakili usia siswa. Tinggal kita sebagai gurunya harus terus rajin dan kreatif dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran. Kita pun sebagai guru nanti akan menemukan clue point lainnya. Barangkali Mengajar rasa liburan. Bagaimana menurut Bapak dan Ibu Guru?
Tanjung Batu, Karimun,
18 November 2017