Di tikungan senja, aku melewati anak-anak sedang berjalan beriring dengan saudara dan orang tuanya. Mereka membawa seperangkat alat-alat yang tidak sempat kubaca dengan saksama, detail tentang benda-benda apa yang dibawa itu. Melaju melewati sembari menyapa nama mereka di senja itu adalah salah satu caraku untuk mengakrabkan diri. Sepanjang jalan, seba’da saling berselang, aku mencoba menerka kemana intensi perjalanan mereka. Menuju laut untuk mencari ikan dan semacamnya, begitu aku menyimpulkan seorang diri.
Di keesokannya, saat wajah pagi masih teduh, mereka melempari dengan tanya yang membuatku hening. “Bu, kapan kita pergi membaca macam (seperti) Ibu kemarin?”. Dalam jeda menit, gurat berkecambah di keningku untuk menerjemahkan pertanyaan mereka. Aku kembali melempari mereka lewat sebentuk tanya karena kepelikan atas pertanyaan mereka yang menjeru.
“Maksudnya?,” air mukaku keheranan.
“Ibu kemarin dari tempat membaca kan?
Kita nak ikut ke sana juga Bu e,”suara mereka saling berkejar-kejaran.
“Siapa mau ikut ke sana?,”giliranku menanggapi.
Satu kelas yang hanya berjumlah 13 orang semuanya mengangkat tangan.
“Kapan mau ke sana?,” aku memerdekakan mereka untuk memilih waktunya. Setelahnya, biar aku yang mengadaptasikan waktu.
“Hari ini Bu, hari ini Bu” jawab mereka serentak dan berulang. Aku mengiyakan tawaran mereka.
Seketika kukatakan “Jika hari ini tiba-tiba Ibu tidak mau bagaimana? Hampir setengahnya menjawab “Endok (tidak) apa Bu, endok apa Bu”.
Namun salah satu dari mereka, siswa laki-laki berparas tinggi memberikan jawaban yang justru membuatku memasung senyuman.
“Kalau Ibu tidak mau, kita kecewa Bu,” raut wajahnya membangunkan tawaku.
Pada perealisasian perjalanan menuju sebuah PKBM. Sebelumnya telah saling berjanji untuk berjumpa di jalan menuju sekolah dengan kesepakatan berhimpun pada pukul 14.00 wib. Terlebih dahulu kutunaikan kewajiban untuk menjemput rekan se-bait. Selepasnya aku menuju tempat kesepakatan dengan anak-anak. Benar adanya, mereka telah menunggu sembari saling bercengkerama. Hadirku menggerakkan kaki mereka untuk mulai melangkah menuju tempat ‘mencuri’ ilmu. Aku mengendarai motor bergincu hijau perlahan, sementara mereka kubiarkan berjalan bersamaan di depan. Sumringah dan tawa mereka menyatu, seakan menambah energiku senja itu. Sesekali mereka berlari saat kami mulai berjarak.
Aku membaca raut wajah mereka yang begitu senang sesampai di PKBM. Sederetan buku bisu, mereka sambangi. Setelahnya mereka bersila di lantai yang menggigil. Aku mengamati, sebagian besar mereka lebih menyukai dongeng, cerita anak yang bergambar. Aku menatapi wajah mereka. Ada rasa kelegaan ketika pada akhirnya bisa menunaikan janji dan membawa mereka ke tempat membaca. Aktivitas ini adalah kepingan pendukung motivasi literasi. Di ruangan kelas, dalam sepekan ini kucoba membiasakan mereka untuk membaca sebelum mulai belajar, dan mereka tidak ada protes. Padahal bukunya dalam sepekan itu masih sama. Terkadang mereka saling berebut untuk saling bertukar agar mendapatkan buku yang berbeda dari hari sebelumnya. Dalam sebuah refleksi di ujung pekan kemarin, kubaca sebaris kata “Saya suka main game dan selalu membaca sebelum belajar”.
Di penghujung senja, kusaksikan mereka membawa buku pinjamannya masing-masing. Semoga apa yang mereka baca, mampu membuka jendela dunia. Dan dengan ketersediaan yang ada, semoga jendela itu terbuka. Semoga!
Salam takzim dari Pulau
Kepulauan Anambas, Oktober 2017
Wa ila rabbika farghob
Keep tawadhu
Juniar Sinaga