Agustus 2050
Tangan Paguru melambai dengan gerak yang dipaksa-paksakan. Di dataran pipinya air mengalir yang telah berusaha ditahannya semenjak pelukan dari Lono, Roy, dan Pedro lepas.
“Kau jaga sekolah dengan baik.” Bisik Paguru pada Lono.
Murid kelas XI itu hanya mengangguk tanpa bisa melepas balasan kalimat apapun. Padahal ia ingin. Tapi tak bisa. Air mata jauh lebih ampuh memahami.
“Guru baru akan datang, sebentar lagi. Tunggu saja. Tak sampai sebulan kalian akan lupa kalau Bapak pernah ada di sini.” Kata Paguru yang berusaha tenang. Pulang adalah melepaskan kerinduan dan menyiksa ingatan.
“Paguru jangan lupa kitorang di sini. Kitorang sayang Paguru.”
Hampir seluruh penghuni Distrik Kofiau melepas Paguru pulang. Seringkali perpisahan menjadi tolak ukur kasih sayang. Sejauh mana kau bersedih. Seberapa banyak waktu kau habiskan untuk memulihkan kehilangan.
Paguru dari Sulawesi itu pulang.
September 2065
Kofiau kini tak bisa bangun pagi lagi. Menjelang siang atau kalau benar-benar malas bisa sore warganya bergerak. Pekerjaan tak selamanya ada. Urusan perut bisa berbahaya jika tak kerja. Molo, mencari kayu bakar, membuat kopra atau keluar masuk hutan untuk menghibur kesepian hanyalah seperangkat rutinitas yang sangat membosankan. Kofiau seperti mayat berjalan. Bernafas tapi sulit mencari arah.
Kofiau adalah dimensi ruang tunggal yang tertinggal oleh segala harapan. Pace Mace kawin dan beranak pinak hanyalah sebuah ekspresi nafsu semata. Atau kita buat sedikit halus sebagai wahana mencari keturunan agar garis pemberian marga tak putus di generasi ke berapa.
Sejak 10 tahun lalu. Sejak Paguru Sulawesi pulang. Kofiau seperti hidup di dalam kaos kaki usang dalam tong sampah. Dilupakan oleh perputaran zaman. Diacuhkan oleh Kepala Dinas. Dikhianati oleh Menteri Pendidikan. Tak dihiraukan oleh Bapak Bupati.
Tak pernah ada lagi guru baru semenjak Paguru Sulawesi pulang. Sekolah ditutup. Sekolah kini hanya menjadi lahan favorit para kambing untuk bereproduksi atau tempat laba-laba membuang hajat. Dinding tembok sudah usang. Atap sudah bolong di mana-mana. Cahaya matahari mudah masuk. Hujan mudah menjalar ke lantai yang telah pecah-pecah.
Menjadi domba-domba yang mencari Tuhan di dalam gereja adalah cita-cita mulia di Kofiau. Bukan lagi Tentara, Mantri, Bidan, atau Politisi. Cita-cita itu hanya miliki generasi terakhir yang belajar bersama Paguru Sulawesi. Kini mereka sudah berusia rata-rata di atas 40 tahun. Beberapa di antaranya sudah meninggal. Praktis hanya Lono dan Narkisus yang berani mendobrak tradisi pesimis warga Distrik Kofiau. Mereka kini ada di kota. Entah di kota mana. Sudah 8 tahun ini mereka tak pernah pulang. Hati mereka tak ada lagi di Kofiau. Sungguh kota menyulap orang kampung hilang ingatan.
Kofiau telah rapuh pada harapan-harapan. Paguru Sulawesi memberi titik-titik cahaya. Cahaya itu hanya sebentar. Hanya setahun. Setelahnya gelap. Guru baru yang ditunggu-tunggu tak pernah datang. Kofiau menunggu ajalnya.
Kofiau hening pada cita-cita. Buah pinang, sirih, dan sedikit kapur hanya sebagai penghibur tambahan dari kesedihan-kesedihan yang masing-masing manusia yang hidup di dalamnya tengah menyembunyikan. Hujan datang dan pergi. Pagi ke malam. Malam ke pagi. Semua dimakan waktu dan usia yang semakin tak pernah peduli lagi.
Kofiau telah mati saat Paguru Sulawesi pulang. Pulang seterusnya. Tanpa penerus. Waktu tergerus. Arus laut mengiba-iba. Penguasa telah habis iba. Tak ada guru lagi. Di Kofiau tidak ada sekolah, lagi.
Johor Bahru, Oktober 2017
(Gambar: Kaharman – GGD Buru)