Sejenak semua pandangan tertuju pada sebuah kapal yang luar biasa besar badannya dan banyak tingkatnya. Kapal yang bernamakan KM.Bukit Raya milik Pelni tersebut perlahan merayap ke dinding pelabuhan. Di balik ruang yang berpintukan jeruji besi kami menyaksikan ribuan penumpang turun dengan segudang barang di pundaknya masing-masing. Satu persatu mereka hilang dari awasan mata pulang ke rimba masing-masing. Pintu ruang tunggu pun dibuka. Tiba giliran kami selangkah demi selangkah mendekati badan kapal raksasa itu. Tentu juga dengan serentetan barang yang akan dibawa ke daerah penempatan masing-masing untuk bekal pengabdian selama 1 tahun. Kami adalah sebagian kecil guru muda utusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang tergabung di dalam program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T) dibawah Lembaga Penyelenggara Tenaga Kependidikan (LPTK) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah, Aceh) dan Universitas Pendidikan Indonesai (UPI, Bandung). Sebanyak 73 orang guru muda ini akan bertugas di Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau.
Setelah menempuh perjalanan dari Banda Aceh ke Batam melalui jalur udara dan dari Batam ke Tanjung Pinang melalui jalur laut menggunakan kapal Ferry, di sini lah kami sekarang, tepatnya di Pelabuhan Kijang. Kapal raksasa inilah yang akan mengantarkan kami ke tempat tujuan selama lebih kurang pelayaran 18 jam mengarungi Laut Cina Selatan. Dengan niat yang ikhlas, awal pengabdian dimulai dari sini. Satu persatu guru muda mulai menaiki tangga kapal yang sempit dan tingginya bukan kepalang. Kami hanya sekumpulan kecil rombongan dari ribuan penumpang yang juga akan melakukan perjalanan dengan tujuan yang sama. Penuh sesak, penuh peluh untuk mencapai tempat yang telah tertera di tiket masing-masing. Sungguh tidak pernah terbayangkan akan berada dalam tempat dan situasi seperti ini. Ya. Inilah awal perjuangan sebuah pengabdian demi mencerdaskan generasi emas Indonesia.
Subuh yang menggema menyambut kedatangan para guru-guru muda. Perwakilan dari pihak Dinas Pendidikan pun dengan setianya menunggu kapal berlabuh dengan sempurna. Selamat datang di Kota Tarempa, Kabupaten Kepulauan Anambas. Begitulah kiranya kalimat pertama yang terdengar saat menginjakkan kaki di tanah Melayu ini. Selanjutnya, kami berbondong-bondong menuju tempat acara penyambutan guru-guru muda oleh Kepala Dinas Pendidikan di hotel Tarempa Beach. Tidak jauh dari pelabuhan. Cukup berjalan kaki sambil menyeret koper masing-masing. Setelah istirahat sejenak dan mempersiapkan diri serapi mungkin untuk acara penyambutan ini, para guru-guru muda beserta undangan dan staf-staf Dinas Pendidikan memasuki ruangan Aula yang telah dipersiapkan di hotel tersebut. Acara penyerahan guru-guru muda dari pihak LPTK Unsyiah dan UPI ke Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Anambas berlangsung dengan khidmat dan penuh rasa bangga karena adanya tampilan kesenian dari daerah asal masing-masing, yaitu Aceh dan Bandung. Berbagai tampilan yang luar biasa walau tubuh masih bergoyang dan belum seimbang akibat diayun riak ombak selama lebih kurang 18 jam. Tetapi hal tersebut tidak mengurangi sedikitpun semangat dalam jiwa karena darah kami masih muda.
Acara ditutup dengan pembagian guru-guru muda ke beberapa sekolah yang ada di Kabupaten Kepulauan Anambas. Bahkan ada beberapa orang guru muda yang akan dibawa langsung pada saat itu juga oleh pihak UPTD dan kepala sekolah yang ikut menghadiri acara penyambutan tersebut. Aku dan beberapa kawan yang ditugaskan di Kecamatan Palmatak berpamitan dengan Dosen yang ikut mengantarkan kami juga dengan teman-teman yang lainnya karena kami telah dijemput. Pecahlah haru biru isak tangis, seolah segerombolan pasukan anak panti asuhan yang dipisahkan dari teman-temannya karena diadopsi oleh orang tua asuh masing-masing. Selamat berpisah. Selamat bertugas. Selamat berjuang. Selamat mengabdi, Kawan.
***
Pagi yang berbeda, saat terbangun dari mimpi yang panjang dengan tubuh yang masih penat dan mata yang masih buram kupandangi sekeliling kamar, ternyata aku sudah berada di rumah orang tua asuhku yang sekaligus Ibu Kepala Sekolah di tempatku mengajar nantinya. Inilah keluarga baruku tempat berbagi segala rasa. Ini juga hari perdana aku menyambangi sekolah yang merupakan rumah keduaku selama di sini. Sebuah sekolah yang dikelilingi oleh rawa dengan gedung dan fasilitas yang apa adanya. Ya. Serba apa adanya. Di sinilah akan kuruah segala bekal ilmu yang aku bawa untuk mereka-mereka yang butuh akan pendidikan, haus akan kepedulian dan sentuhan hangat dari seorang pendidik.
Di dalam surat keputusan (SK) dari Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Anambas, Aku ditempatkan di Madrasah Ibtidaiyah Ababil Jannah. Madrasah ini merupakan madrasah yang baru dibentuk di bawah Yayasan Ababil Jannah. Berhubung belum mempunyai gedung sendiri, maka untuk sementara menumpang di Madrasah Aliyah USB Palmatak, Desa Payamaram Kecamatan Palmatak. Oleh karena kedua madrasah ini berada di gedung yang sama, maka aku juga dibebankan mengajar di Madrasah Aliyah setelah semua semua tugasku selesai di Madrasah Ibtidaiyah. Anak didikku di Madrasah Ibtidaiyah hanya kelas 1 yang berjumlah 20 orang dan anak didikku di Madrasah Aliyah juga hanya 1 kelas yaitu kelas XII IPS yang berjumlah 5 orang. Jadi jumlah anak didikku hanya 25 orang yang tersebar pada jenjang awal dan jenjang terakhir. Miris sekali rasanya.
Awal perkenalan dengan anak-anak didik beserta guru-guru dan staf tata usaha sangat menenangkan. Ya. Tenang sekali. Mereka semua menerima kedatanganku dengan tangan terbuka, muka yang ramah dan mata yang berbinar. Aku hanya sendiri yang ditugaskan ke sekolah ini dari sekian guru-guru muda. Jika tahun sebelumnya ada 3 orang, maka tahun ini cuma aku sendiri. Walaupun sendiri, sungguh sangat berarti. Begitulah bisikku di dalam hati.
Hari demi harus terus berlalu dengan segudang kegiatan yang harus dikerjakan. Mulai dari mengajar baca tulis anak-anak polos nan suci, sesekali juga diajak bermain dan berolahraga bersama. Lucu, lugu dan juga kadang-kadang suka mengadu. Setelah lelah melayani para bocah-bocah super duper, saatnya mengalihkan perhatianku ke wajah 5 sekawan yang sudah menanti di kelasnya. Walau hanya berlima, tapi semangat mereka untuk menimba ilmu tidak kalah dengan 50 orang. Mereka selalu menyimak dan merekam setiap pelajaran yang aku sampaikan. Ya walaupun bidang studi yang Aku ampu di sini bukanlah bidangku sendiri. Aku yang notabenenya Pendidikan Biologi, tetapi di sini Aku dituntut mengajar Geografi, Sejarah, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Arab. Itulah salah satu tuntutan menjadi guru SM-3T, harus siap dengan segala keadaan di lapangan. Harus bisa menjadi apa saja sesuai dengan yang dibutuhkan.
Tidak cukup dengan semua kegiatan di sekolah. Aku juga punya kegiatan selanjutnya pada sore hari yaitu mengajar les (belajar tambahan) kepada beberapa anak-anak. Mereka bukanlah anak-anak didikku di sekolah, melainkan anak-anak desa seberang. Berita tentang kedatanganku ternyata sudah menyebar ke daerah-daerah sekitar perkampungan tempatku tinggal. Mengetahui berita tersebut, ada beberapa orang tua yang datang menghampiriku untuk meminta ketersediaanku mengajar les anak-anak mereka yang sedang duduk di kelas VI Sekolah Dasar. Mereka mengharapkan anak-anaknya dibekali ilmu tambahan untuk menghadapi Ujian Nasional nantinya. Menolak permintaan orang bukanlah sifatku, selama hal itu masih bisa kusanggupi. Selain mengabdi di sekolah, kami juga seharusnya mengabdi untuk masyarakat dan ikut serta terlibat dalam berbagai kegiatan sosial.
Hari telah usai, tibalah gelap dan itu malam. Belum saatnya istirahat, aku masih punya agenda. Jika dari pagi sampai sore aku telah disibukkan dengan kegiatan-kegiatan duniawi, maka malam hari waktuku untuk ukhrawi. Setelah shalat maghrib aku telah ditunggu oleh sekelompok anak-anak dari tetangga-tetanggaku. Mereka memintaku mengajarkan cara membaca Alqur’an yang fasih dan benar. Dengan segenap hati kuterima pinta mereka. Mengajarkan suatu ilmu yang berguna bagi kehidupan orang lain adalah kepuasan tersendiri bagi jiwa para guru. Usai sudah semua agenda, ini waktunya untuk merebahkan tubuh dan menghela nafas panjang dalam keheningan malam. Tidur adalah satu-satunya cara untuk merecovery segala daya dan semangat untuk melanjutkan perjuangan di babak berikutnya. Terlelaplah dalam damai, wahai pelita.
***
Waktu beranjak begitu saja, tidak terasa hampir 1 tahun Aku berada di tengah-tengah mereka. Tentu saja banyak kenangan-kenangan yang akan dibungkus rapi untuk dibawa pulang. Berita penjemputan guru-guru muda telah ditentukan. Ada rasa yang bercampur aduk, antara senang karena akan berkumpul dengan keluarga yang telah ditinggalkan selama 1 tahun dan sedih karena akan meninggalkan keluarga baru yang telah menerima dan menjaga selama 1 tahun. Sungguh dilema yang hebat.
Mendengar bahwa gurunya akan segera dijemput pulang, anak-anak mulai resah dan gelisah. Setiap hari terdengar ucapan dari mulut mungil mereka, “Ibu jangan pulang, Ibu jangan tinggalkan kami”. Hati manusia mana yang tidak terenyuh mendengar suara hati malaikat-malaikat kecil itu. Dengan sebuah senyuman yang sedikit kupaksakan, maka kujawab “Ibu hanya pulang sebentar untuk melanjutkan pendidikan, kalau sudah selesai Ibu akan kembali”. Kemudian raut wajah yang tadinya mendung, kini telah cerah kembali. Seperti ada pelangi yang terukir setah turunnya hujan. Sementara, sukmaku berteriak mengutuk sebuah kebohongan yang tidak pernah kuharapkan. Itu semua demi menjaga hati yang belum seutuhnya sempurna. Kelak, mereka akan mengerti arti sebuah pertemuan yang selalu diiringi perpisahan.
Tibalah hari dimana bendera kepulangan telah dikibarkan. Perjuangan telah selesai. Kembali ke pangkuan Ibunda adalah perintah. Mereka yang ingin mengantarkan pun sudah siap dengan bendungan air mata yang tidak lama lagi tumpah. Tidak berbeda denganku. Dengan langkah yang berat, kami bersama-sama berjalan menuju pelabuhan. Tidak lama kemudian, speedboat tujuan Kota Tarempa akan berangkat. Aku berpamitan pada mereka semua, kusalami satu persatu, kucium dan kupeluk erat tubuh itu. Tangan-tangan kecil mereka dengan spontan mendekap kakiku sambil menangis dan berteriak “Ibu jangan pulang, Ibu jangan Pulang, Ibu jangan Pulang”. Dengan nada suara yang gemetar aku mencoba menenangkan mereka yang tidak bisa melepaskan kepergianku. Butuh waktu yang sedikit lama untuk meyakinkan mereka. Sementara suasana masih terhanyut dalam keharuan perpisahan untuk selamanya.
Aku harus segera pulang. Mesin speedboat yang sedari tadi sudah menyala mulai panas karena kelamaan menungguku. Perlahan kami berlayar meninggalkan pelabuhan, masih tertangkap oleh pandangan jari-jari manis yang melambai mengucapkan selamat jalan. Semakin lama, semakin jauh, dan menghilang.
“Selamat tinggal mutiara-mutiaraku, kalian adalah hal terindah yang pernah melukis perjalanan hidupku. Butuh perjuangan menyelami Samudra untukku menemukan kalian. Jangan pernah menyerah untuk mengejar masa depan yang lebih indah, seperti janji kita untuk sekeping asa merajut cita”.