Allahu Akbar, kata-kata ini tak henti terucap dari mulutku. Sungguh hari ini adalah hari yang membahagiakan sekaligus hari yang sangat luar biasa bagiku. Hari ini, Kamis tanggal 28 Agustus 2014 sebanyak 36 orang peserta SM-3T LPTK UR diberangkatkan menuju kota Wamena, kabupaten Jayawijaya, Papua. Kami berangkat dari bandara Sultan Syarif Qasim II Pekanbaru, dengan linangan air mata dari sahabat-sahabatku, saudara-saudaraku serta orang tua yang sangat aku sayangi, aku pun berangkat dari Pekanbaru menuju Jakarta.
Hari ini untuk pertama kalinya dalam hidupku duduk dalam pesawat, dan ini tak pernah terbayangkan sedikitpun olehku, gadis yang sehari-hari hanya bisa naik oplet turun oplet, sekarang naik pesawat turun pesawat. Mungkin bagi orang lain naik pesawat adalah hal biasa, tapi bagiku ini sungguh luar biasa. Berkali-kali kucubit pipit ini hanya untuk memastikan kalau saat ini aku tidak sedang bermimpi. Kurang lebih 2 jam berada di atas awan aku pun sampai di bandara internasional Soekarno Hatta, Jakarta. Lagi-lagi aku tak percaya, kembali aku menginjakkan kaki di kota besar ini setelah 13 tahun berlalu.
Sembari menunggu keberangkatan ke Jayapura, aku dan teman-temanku menunggu di ruang tunggu. Sambil merebahkan badan aku kembali bertanya-tanya dalam hati “apa benar sekarang aku tidak sedang bermimpi?” Setelah menyadari kalau ini benar-benar nyata aku tertawa sendiri.
Tepat pukul 24.00 WIB, aku dan peserta lainnya menuju pesawat, kami akan berangkat menuju Jayapura. Dibutuhkan waktu ±5 jam untuk sampai di sana. Selama di perjalanan aku menatap keluar dan tak henti-hentinya aku mengucap syukur melihat pemandangan yang luar biasa dari atas awan.
Sekarang posisiku berada di atas awan, adegan yang hanya bisa kulihat dalam film-film kini benar benar nyata aku yang mengalaminya. Kirain seumur hidup cuma bisa naik oplet…
Setelah cukup lama berada dalam pesawat, akhirnya tepat pukul 07.00 WIT kami sampai juga di bandara Sentani, Jayapura dan akan melanjutkan perjalanan ke kota Wamena. Untuk menuju Wamena kami harus menunggu selama ± 4 jam. Selama berada di ruang tunggu aku kembali meyakinkan diriku bahwa ini memang kehidupan nyata, di hadapanku kini hadir orang orang yang tidak pernah kulihat sebelumnya dengan mata kepala secara langsung…hehe. Aku merasa ini benar-benar seperti mimpi, seperti orang bodoh aku menoleh ke kanan, ke kiri, ke depan dan ke belakang hanya untuk melihat orang-orang yang ada di sekelilingku. Di sekelilingku kini hadir orang-orang yang benar membuatku tak bisa bicara. Sembari memperhatikan orang-orang itu, aku kembali meyakinkan diri kalau ini nyata adanya.
Pukul 12.30 WIT kami menuju pesawat untuk berangkat menuju Wamena menggunakan Trigana Air. Untuk sampai di Wamena kami cukup menempuh waktu 20 menit saja.
Pukul 13.50 WIT kami akhirnya tiba di bandara Wamena, kota yang akan kutempati selama 1 tahun untuk mengabdikan diri pada bangsa ini. Keluar dari pintu pesawat aku disambut mesra oleh angin, pemandangan yang benar-benar menyejukkan mata dan perasaan. Alam Papua sungguh indah, dikelilingi gunung-gunung dan jauh dari polusi udara. Turun dari pesawat kudiam sejenak, kurentangkan tangan dan kuhirup udara dalam-dalam, udaranya sangat terasa sejuk.
Dalam perjalan menuju bandara aku langsung disambut oleh sesosok manusia yang membuatku kaget. Seorang bapak yang membawa barang dagangannya datang menghampiriku, yang membuatku kaget bukan barang yang dijualnya, tapi aku kaget melihat bapak itu tidak memakai sehelai benang pun. Bapak itu hanya memakai koteka. Sebenarnya di Papua itu adalah hal yang biasa, tapi bagiku itu luar biasa, hahaha.
Setelah mengambil semua barang bawaan, kami pun berkumpul di depan kantor polisi yang ada di samping bandara sambil menunggu jemputan dari pemerintah setempat. Semua warga yang ada di sana perhatiannya tertuju pada kami, dengan mata yang sinis mereka menatap kami dan aku yakin dalam hati mereka bertanya “siapa kau kau kau kau” kayak lagu dangdut itu lho.
Kuhela nafas dalam-dalam, tatapan mata mereka yang tajam membuat ku ingin lari sejauh-jauhnya. Tapi itu tak mungkin, mau lari kemana? Saat itu aku benar-benar takut, meskipun aku tidak sendiri, ada peserta lainnya, ada dosenku, tapi itu tetap membuatku takut. Lama berada dalam ketakutan, akhirnya datanglah seseorang yang wajahnya sudah pernah kulihat sebelumnya dan membuat hatiku sedikit lega.
Bapak Gaad Tambuni, beliau adalah Asisten 2 Sekda Wamena. Sebelumnya kami sudah pernah bertemu beliau. Beliau datang pada saat prakondisi SM-3T LPTK UR. Beliau datang menjemput kami di bandara dengan senyuman manis yang membuat hatiku sedikit terhibur, setidaknya aku bisa melihat orang yang kukenal di tempat yang asing ini.
Setelah temu ramah dengan bapak Gaad Tambuni, kami pun diantar ke tempat penginapan sementara. Sesampai di lokasi ternyata peserta SM-3T yang berasal dari LPTK lain sudah datang terlebih dulu. Mereka berasal dari LPTK Universitas Mulawarman. Malam harinya diadakanlah pertemuan antara kedua LPTK untuk bisa saling mengenal. Setelah berbincang-bincang kami pun kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat.
Hari pertama menyambut pagi di Wamena…dinginnya luar biasa, sekalipun aku berasal dari kota yang udaranya dingin, tapi belum bisa mengalahkan dinginnya Wamena, kota Wamena terkenal dengan anginnya yang kencang dan air yang dinginnya sama seperti es batu.
Sabtu, 30 Agustus sebanyak 66 peserta SM-3T dipertemukan dengan masing-masing kepala sekolah dari setiap sekolah yang akan ditempati nantinya sekaligus pembagian rekan kerja untuk satu tahun ke depannya. Aku kebetulan mendapat teman yang satu jurusan denganku, namanya Tami Afiyani. Dia adalah peserta SM-3T yang berasal dari Universitas Mulawarman, jurusan Kimia angkatan 2010.
Sedikit gelisah mulai berkecamuk di hatiku, aku akan ditugaskan di SD Mulima, dan aku hanya memiliki 1 orang teman dan itu pun perempuan. Ada sedikit iri di hati melihat teman-temanku yang lain. Mereka digabung antara laki laki dan perempuan. Di kota yang asing dan terkenal dengan banyaknya kejahatan, rasanya akan lebih aman kalau dalam satu posko itu ada laki laki, setidaknya ada yang akan melindungi ku.
Aku berusaha menenangkan diri, aku yakinkan hatiku bahwa Allah tahu apa yang terbaik untuk umatnya. Setelah mendapat teman baru, aku dan Tami pun berdiskusi dengan perwakilan dari sekolah yang akan kutempati.
Setelah memperkenalkan diri, kami pun berbincang-bincang dengan perwakilan sekolah, bapak Isaias, beliau adalah guru agama dari SD Mulima. Beliau bercerita panjang lebar tentang sekolah, dan yang membuatku tak percaya dari cerita beliau bahwa di sekolah yang akan kutempati nanti tidak memiliki kepala sekolah karena kepala sekolah dalam keadaan sakit, kepala sekolah mengalami gangguan syaraf sehingga beliau tidak bisa bertugas.
Dalam hati ingin kumenangis rasanya, saat bercerita dengan bapak Isa iaas aku sedikit ragu dengan keberadaanku nantinya. Mungkin kalau dari segi penampilan aku bisa memahaminya karena keadaan di sini memang seperti itu, tak sedikit pun dari penampilannnya yang menngambarkan kalau beliau adalah guru. Tapi saat bicara dengannya aku benar-benar sakit kepala dibuatnya, beliau bicara seperti orang mabuk yang dari sekian banyak pembicaraan aku lebih banyak tidak pahamnya daripada pahamnya… hahaha
Alhasil saat berbincang-bincang aku dan Tami lebih banyak berkata “ iya bapak “
Tepat tanggal 1 September 2014 sebanyak 66 peserta SM-3T yang berasal dari dua LPTK diserahkan kepada pemerintah setempat, sekaligus hari itu masing-masing peserta akan menuju lokasi pengabdian yang telah ditentukan. Setelah upacara serah terima selesai, kami pun kembali ke penginapan untuk menyiapkan keperluan yang akan dibawa ke posko masing-masing.
Percayalah, Allah itu Maha Mengetahui
Satu persatu teman-temanku sudah menuju lokasi masing-masing, ada rasa resah di hatiku saat itu. Sanggupkah nanti aku menjalani hari-hari selama 1 tahun hidup dengan orang-orang yang memiliki banyak perbedaan denganku. Perbedaan budaya dan perbedaan agama pastinya. Dalam keresahan akhirnya mobil jemputan untuk guru SM-3T yang mengabdi di Distrik Kurulu pun tiba, kami semua mulai menaikkan barang-barang ke atas mobil. Tiba-tiba muncul keraguan di hatiku, perwakilan dari sekolahku pun tidak menampakkan batang hidungnya. Dalam hati aku berpikir, “awalnya saja sudah tidak jelas, bagaimana nantinya?”. Aku dan Tami saling menatap memikirkan bagaimana nasib kita nantinya?.
Resah hatiku pun bertambah, tatkala mobil akan melaju tiba-tiba aku dan Tami disuruh untuk menurunkan barang-barang kembali, kami belum bisa berangkat karena tidak ada perwakilan dari sekolah yang menjemput. Mataku mulai berkaca kaca, dalam hati aku berkata “Ya Allah, bagaimana nasib kami ini?”
Akhirnya barang-barang yang sudah dinaikkan ke atas mobil harus diturunkan lagi, kepala dinas mengatakan kalau tidak ada perwakilan sekolah yang menjemput kami, maka kami akan dipindahkan ke sekolah lain. Semangatku hilang sudah, yang aku bayangkan saat itu adalah bagaimana jika nanti kami dipindahkan ke sekolah yang benar-benar sangat terpencil. Aku melihat kebimbangan di wajahnya Tami, ingin rasanya aku menghibur dia, tapi apalah daya menghibur diri sendiri saja aku tak mampu. Hehehe
Setelah berjam-jam menunggu akhirnya bapak Isaias muncul juga. Ada sedikit rasa lega di hatiku. Bapak Kepala Dinas pun memanggil bapak Isaias, Bapak Kepala Dinas terlihat kesal karena perwakilan SD Mulima telah mengabaikan kami, dan mengancam akan memindahkan kami ke sekolah lain. Namun bapak Isaias menjelaskan alasan keterlambatan beliau yang lumayan masuk akal. Hehe
Melihat bagaimana cara beliau berbicara aku tak yakin bisa berkomunikasi baik nantinya dengan beliau, huft. Untuk mencerna kata-kata beliau aku dan Tami mesti berdiskusi dulu, “kira kira maksud bapak tadi apa ya?” Haha.
Setelah selesai berbincang dengan Bapak Kepala Dinas, bapak Isaias pun pamit sebentar untuk membeli keperluan kami, dan lucunya sebelum beliau pamit beliau memberikan aku dan Tami masing masing satu koran. Akupun berbisik pada Tami, “bapak ini ngasih koran buat apa ya?” haha.
Setelah menunggu beberapa waktu, Bapak Isaias tidak juga muncul. Akhirnya diputuskan kami berangkat terlebih dahulu dan ikut dengan mobil temanku yang sama-sama bertugas di Kurulu, tapi di desa yang berbeda. Tapi kendalanya, kami nanti akan diturunkan di mana? Kami belum tahu di mana pihak sekolah menyediakan tempat tinggal untuk kami. Melihat kami yang mulai gelisah kepala sekolah SD Obia langsung menghubungi salah satu warga yang ada di sekitar sekolah yang akan kutempati nanti. Setelah tahu lokasi tempat tinggalku, kami pun berangkat menuju Distrik Kurulu.
Ada sedikit rasa iri di hatiku saat itu melihat temanku yang bertugas di SD Obia, Kepala Sekolahnya benar-benar sangat memperhatikan mereka. Sebelum kami menuju ke lokasi Kepala Sekolah SD Obia telah menyediakan semua perlengkapan yang mereka butuhkan. Mulai dari kasur, bantal, kelambu, minyak tanah, dll.
Dalam hati aku berkata, “jangankan kasur, orang yang jemput aja gak ada. Sekalipun datang yang dikasi cuma koran”
Sepanjang perjalanan menuju lokasi pengabdian, hatiku yang tadinya tak karuan sedikit terhibur dengan pemandangan yang disuguhkan oleh alam. Pemandangan yang benar-benar membuatku takjub, pemandangan yang luar biasa indahnya. Dikelilingi gunung yang tinggi menjulang, angin sepoi-sepoi, awan yang indah, andai saja aku bisa melukis, akan kulukis pemandangan yang luar biasa ini.
Terlena dengan pemandangan alam, tanpa disadari aku sudah harus turun dari mobil. Aku dan Tami sudah sampai di lokasi pengabdianku. Turun dari mobil aku langsung disambut oleh Bapak Tinus, Beliau adalah salah satu warga di distrik Libarek yang sebelumnya aku jumpai saat pertemuan dengan perwakilan sekolah.
Sedikit lega di hatiku melihat lokasi tempat tinggalku yang berada d isamping sekolah dan yang terletak di pinggir jalan. Ini jauh dari bayanganku sebelumnya, ternyata aku tidak harus turun gunung dan mendaki gunung untuk pergi mengajar. Rasa syukur kuucapkan kepada Allah “Terimakasih ya Allah atas kemudahan yang Engkau berikan”.
Saat kami tiba di lokasi tempat tinggal ternyata ada beberapa warga yang sedang membersihkan halaman rumah yang akan kami huni nantinya. Senang melihat kondisi rumahnya, sangat layak untuk dihuni. Hanya saja kami harus bergabung dengan penghuni aslinya, tak masalah sebenarnya, yang jadi masalah adalah rumah tersebut dihuni oleh beberapa orang dan itu laki laki semua, sedangkan para Mama tinggal di Honei. Ini yang membuat aku merasa tidak nyaman dan takut. Sekalipun itu sudah Bapak-bapak, tapi siapa yang jamin kalau kami bakal aman. Hehe
Setelah berbincang-bincang dengan tuan rumah, aku dan Tami memutuskan untuk istirahat. Sampai di kamar aku agak sedikit shock, kamar itu benar-benar kosong, jangankan kasur, tikar pun tak ada dan mungkin inilah maksud bapak Isaias memberi kami koran. Koran pun kami jadikan alas untuk istirahat sementara, sedih memang
Baru beberapa menit istirahat, aku dan Tami dipanggil oleh bapak Tinus. Dan ternyata bapak Isaias baru saja datang dengan membawa beberapa kebutuhan makanan. Bapak-bapak pun berbincang sepertinya mereka sedang mendiskusikan sesuatu, tapi kami tidak tahu apa yang mereka diskusikan karena mereka menggunakan bahasa daerah.
Dan hasil diskusinya untuk malam ini kami menginap di rumah bapak Tinus yang juga berada di samping sekolah. Hal ini karena rumah yang kami tumpangi sekarang belum ada fasilitas.
Hari yang melelahkan dan penuh keresahan pun berlalu, malam ini pertama kalinya berada di pos. Suhunya tidak sedingin Wamena. Rumah Pak Tinus bisa dibilang berkelas,,,hehe. Fasilitas dirumah beliau lumayan lengkap untuk kehidupan di Papua, ada televisi, dispenser, listriknya full, laptop, dan printer. Kehidupan beliau lumayan maju. Ternyata bapak Tinus adalah sarjana sosial.
Setelah makan malam dan berbincang bincang aku dan Tami pun tidur melepaskan lelah. Sembari merebahkan badan, aku mendengar di ruang tamu Bapak-bapak dan Mama mama berbincang-bincang. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, yang pasti itu tentang aku dan Tami.
Malam berlalu dan pagi pun menyinsing, kulangkahkan kakiku keluar rumah. Kuperhatikan sekeliling ku, pemandangan yang sangat indah menyambut pagiku. Tapi sayang bukan itu yang aku cari, yang aku cari saat itu adalah di mana kamar mandinya, aku sudah tidak bisa menahan untuk buang air. Mau bertanya tak satu pun penghuni rumah yang bangun. Akhirnya anak bapak Tinus yang paling besar bangun, Maria. Maria adalah siswa kelas 5 SD.
Segera kuhampiri Maria, dan bertanya di mana kamar mandinya? Maria pun menjawab “ah, tra ada ibu guru, iburu guru buang air disini saja e” jawab Maria sambil menunjuk rerumputan. Jawaban yang membuat aku ternganga. Jelas saja aku menolak. Tiba-tiba mama datang dengan membawa kunci sekolah, akhirnya Maria mengantarku ke Wc yang ada disekolah. Lega rasanya
Kembali dari sekolah, bapak Tinus memanggil aku dan Tami, bapak Tinus mengatakan bahwa malam tadi beliau sudah berbincang-bincang dengan beberapa warga dan juga kepala desa tentang tempat tinggal kami. Dan demi keamanan diputuskan kami akan ditempatkan di rumah bapak Tinus. Saat itu aku dan Tami menjadi ragu. Kalau kami tinggal di rumah yang awal akan kami tempati keamanan kurang terjamin, dan kalau kami tinggal dirumah bapak Tinus kami bergabung dengan keluarga beliau.
Bapak Tinus seakan mengerti keraguan yang kami rasakan, dia pun mengatakan “ibu guru tra usah takut, di sini lebih aman. Untuk masalah kamar mandi dan dapur nanti kita akan bikin baru toh untuk ibu guru”. Dalam hati aku berkata “pernyataan yang menyenangkan…hehehe”
Esok harinya bapak Tinus dibantu oleh beberapa orang warga langsung bergerak membuat kamar mandi dan dapur untuk kami gunakan. Semangat yang luar biasa kulihat dari mereka. Tanpa ada dana mereka berusaha sebisa mungkin untuk membuat kami nyaman. Tersentuh hatiku melihat Bapak-bapak ini kesana kemari mencari kayu untuk dapur kami nantinya. Tak mengapa bagi mereka, yang penting mereka bisa punya ibu guru yang nantinya juga untuk mengajari anak-anak mereka.
Dan untuk memasak sementara kami menggunakan salah satu rumah keluarga bapak Tinus. Bapak Tinus termasuk orang yang diperhitungkan di distrik Libarek. Bapak Tinus memiliki dua orang istri, dan dari masing-masing istri beliau memiliki dua orang anak.
Besok harinya, tanggal 3 September 2014 menjadi hari pertamaku di SD Mulima, hari itu adalah temu ramah antara orang tua murid dan guru SM-3T. Dan Alhamdulillah para orang tua murid menyambut kami dengan sangat bahagia. Bisa kurasakan ketulusan mereka saat mereka mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan kami untuk mengajar anak-anak mereka. Setelah pertemuan dengan orang tua murid, akupun ikut bergabung dengan siswa siswaku. Bagaikan artis, pandangan siswa tak terlepas dari kami. Hehe
Ada satu hal yang saat itu membuatku tak sanggup menatap mereka,,,ingus. Ya…sebenarnya aku tak sanggup melihat hal-hal seperti itu, perutku pasti langsung mual. Tapi inilah yang akan kuhadapi ke depannya, sekuat mungkin aku berusaha agar aku tidak muntah. Setidaknya aku memberikan kesan pertama yang indah untuk siswaku
Hari-hari di sekolah kulalui dengan menyenangkan, meskipun ada kendala tak masalah, karena memang aku berada di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal).
Tapi yang sungguh menyedihkan, di sekolah tempatku mengabdikan diri, kepala sekolahnya tidak bisa melaksanakan tugasnya karena beliau dalam keadaan sakit. Sehingga guru-guru yang ada di sekolah jadi besar kepala.
Aku tak tahu kejadian ini memang berlangsung dari dulu atau baru sekarang ini. Semenjak adanya aku dan Tami di sekolah hanya 2 orang guru yang sering datang, yang lainnya hanya datang sebentar saja kemudian pergi lagi. Terkadang ada rasa kesal di hatiku melihat tingkah guru-guru di sekolahku. Mereka seakan tidak menghiraukan kewajiban mereka, mereka tak pernah merasa bersalah mengabaikan murid-murid yang sebenarnya memiliki semangat belajar yang tinggi. Pernah suatu ketika aku tidak bisa menyimpannya dalam hati, akupun mencurahkan apa yang ada di hatiku, aku protes tentang kehadiran mereka dan mereka hanya bisa menjawab “ aduh, adek guru kami minta maaf dan terima kasih adek guru sudah banyak membantu “ . Itu saja jawaban dari mereka, jawaban yang benar-benar tidak kuharapkan
Bisa dikatakan semenjak ada aku dan Tami, sekolah menjadi milik kami. Guru yang aktif dan yang selalu datang tiap hari hanya aku dan Tami. Sebenarnya aku mendapat tugas untuk mengajar di kelas 5. Tapi karena guru jarang datang akhirnya aku sering mengajar 5 kelas sekaligus. Pernah suatu ketika aku benar-benar tidak bisa mengontrol diriku, aku kesal dengan tingkah guru-guru di sekolahku. Saat itu aku hanya fokus di kelas 5. Aku biarkan saja kelas 1,2,3 dan 4 berkeliaran di halaman. Setan mulai merasuki pikiranku dan seakan berkata “ biarkan saja kelas lain itu, tanggung jawab kamu kelas 5 saja toh”. Akupun seakan mengikuti pikiran buruk itu.
Tak lama saat aku keluar kelas aku lihat siswa siswaku duduk di halaman sekolah sambil memainkan rumput. Dan saat melihat aku keluar dari kelas 5 beberapa orang siswa mengejarku dan berkata “ibu guru, kami juga mau belajar, masuk kelas kami sudah ibu guru “dengan tatapan penuh harap mereka berkata seperti itu kepadaku. Hatiku terasa sesak mendengarnya.
Tak kuhiraukan permintaan mereka, secepat mungkin aku berjalan menuju ruang guru karena aku tak mau siswaku melihat aku meneteskan air mata akibat ulahku sendiri,,,
“Ya Allah apa yang telah aku lakukan?”
“Guru macam apa aku ini?”
“Apa pantas aku disebut seorang guru”
Itulah yang ada di pikiranku saat itu, bagaimana bisa seorang guru mengabaikan muridnya.
Setelah aku puas memaki diriku sendiri, aku langsung memanggil siswa siswaku yang lainnya dan menyuruh mereka memasuki kelas.
Semenjak peristiwa itu aku tak peduli selelah apapun aku, aku pastikan mereka tidak sia-sia datang ke sekolah. Sekalipun aku harus mengajar 5 kelas sekaligus. Tak masalah bagiku, bukankah aku didatangkan jauh-jauh ke pelosok negeri ini untuk bisa berbagi ilmu dengan mereka.
Meskipun mengajar di 5 kelas sekaligus itu tidaklah efektif, tapi aku berusaha semampuku agar ada ilmu yang mereka bawa ketika pulang sekolah sekali pun itu hanya sedikit.
Tak tega rasanya aku membiarkan mutiara indah ini diabaikan begitu saja, meskipun tak banyak yang bisa kulakukan, setidaknya aku melakukan apa yang bisa aku lakukan semaksimal mungkin.
Melihat semangat belajar mereka yang tinggi, sorenya aku juga mengadakan belajar tambahan bagi siswa yang mau ikut. Dan tak tanggung-tanggung jumlah siswa yang belajar tambahan tak jauh beda dengan jumlah siswa saat belajar di sekolah. Sampai-sampai aku dan Tami kewalahan. Karena jumlah mereka yang terlalu banyak, aku memanfaatkan alam untuk belajar, jadilah kami belajar sore di halaman rumah tempat aku tinggal. Meskipun begitu, bahagia rasanya bisa berbagi dengan mereka.
Pernah suatu ketika salah seorang guru berkata “ aduh,,,adek guru sa minta maaf e, sebenarnya hari Jumat dan Sabtu itu adalah hari libur adek guru berdua, tapi karena di sekolah tidak ada guru sa tidak kasi tau jadi”.
Tanpa merasa bersalah dan tanpa ada beban, beliau mengatakan itu pada kami, tak bisa dipercaya memang
Kadang untuk sekedar melepaskan lelah dan menghilangkan bosan aku dan tema teman yang lainnya sering berkumpul dan mengunjungi tempat tempat wisata yang ada di sekitar lokasi kami tinggal, yakni Goa Lokale dan Pasir Putih
Saat penempatanku baru 2 bulan aku pernah bercerita pada siswaku, kami bercerita tentang perpisahan. Aku bercerita bahwa aku di sini hanya sementara, aku di sini hanya bisa mengajar 1 tahun saja.
Seketika mereka terdiam dan bisa kubaca apa yang sedang mereka pikirkan. Seakan mereka bertanya “lalu nanti kami bagaimana ibu guru?”
Tapi selagi aku masih berada di sini, aku kan melakukan yang terbaik untuk mereka, siswa-siswa yang sangat aku sayangi. Sekali pun tanganku harus meletup karena memotong kuku mereka satu persatu, tak masalah bagiku. Ini semua aku lakukan karena kusayang mereka.
Mutiaraku yang tersembunyi, ibu guru berharap suatu saat nanti kalian akan memancarkan semangat dan inspirasi yang membuat kalian akan sukses dan menjadi manusia yang bermanfaat bagi keluarga, nusa, dan bangsa.
Mutiara hitamku, tunjukkan pada dunia bahwa kalian juga bisa
Di sini banyak hal yang bisa kupelajari.
Di sini aku belajar tentang keikhlasan.
Di sini aku belajar tentang arti kebersamaan.
Di sini aku belajar untuk bisa menerima kekurangan orang lain.
Dan di sini aku belajar tentang kesederhanaan.
Di sini…di Papua.
Di sini…bersama siswa-siswaku.