Sebelum kita bincang kebebasan.
Mereka yang kita sebut perempuan,
tunduk pada penguasa
Budaya dan bahasa menjadi penjara.
Hanya karena gender, kita melabeli stigma
Mereka harus patuh pada kejantanan
Memoles diri demi memuaskan hasrat.
Perempuan memahami itu,
paham subordinasi dan pemarjinalan
Ada yang tertindas tak tersadari.
Dimangsa hegemoni, tertikam oleh dikotomi
Mata dan telinganya dijejali diskriminasi
Atas nama dominasi, lelaki genggam regulasi.
Mungkin tuhan adalah laki-laki.
Tiga gelombang perjuang ternyata belum juga merobohkan
Dari tahun 1800an, katanya sudah melawan
lalu kenapa masih banyak telanjang di jalan
Katanya tak mau dipinggirkan, rupa-rupa dekonstruksi dilakukan
Bermanuver dari dapur hingga kasur
Lalu mengapa kau masih takluk dengan rayuan
Tubuhmu masih banyak diperjualbelikan
Katanya lewat pendidikan semua teratasi
Semenjak era reformasi dialektika tiada henti
Di ruang-ruang perjuang, Kartini dihidupkan kembali
Lalu mengapa kau masih sibuk memerankan partiarki
Ini cerita klasik.
Perempuan masih asyik melakoni nasib.
Tentu tak pernah usai, karena lelaki
terkodrati melindungi dan mengayomi.
Perempuan menikmati bahu laki-laki. (*)