SM-3T………Baru mendengar kepanjangannya (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal) di dalam benak telah berkecamuk AKU TIDAK SANGGUP……………
Pendaftaran telah dibuka, saya sedikit pun tak ada niat untuk ikut, tetapi saya terus berpikir dan berpikir, mengapa saya tidak sanggup sedangkan teman-teman yang lain sanggup, akhirnya saya mencoba mendaftar pada gelombang selanjutnya dan alhamdulillah diterima. Sempat terbesit dalam benak “ MUNDUR” ketika melihat nama terpampang di kertas putih yang tertempel di dinding kampus “Penempatan PAPUA BARAT”, yang terbayangkan hanyalah hutan, koteka, honei dan nyamuk-nyamuk khas Papua, tetapi karena dukungan orangtua dan berbagai pihak, saya melanjutkan perjalananku untuk mewujudkan Motto SM-3T “MENCERDASKAN INDONESIA”.
Inilah awal dari perjalananku di Papua Barat tepatnya Kab. Manokwari, Kec. Warmare………………
Sesampai di Kab. Manokwari, saya terkejut bukan karena ketakutan atau semacamnya, tapi apa yang ada dipikiranku tentang tempat ini sama sekali di luar dugaan, ternyata Manokwari sebuah kota yang tidak jauh beda dengan Makassar, Universitas, mall dan kendaraan semua lengkap, sempat terbesit dalam benak kedatangan SM-3T disini tidak cocok,karena melihat tempatnya yang sudah maju, namun setelah menuju tempat penugasan tepatnya SMA Neg. 1 Warrmare, saya baru menyadari bahwa dengan hanya melihat fasilitas-fasilitas dan perkembangan yang terjadi di daerah ini tidak cukup untuk menilai kemajuan pendidikan yang ada di Manokwari, penyebabnya masih banyak di temukan warga Papua (Putra Daerah) yang tingkat pendidikannya kurang, terbukti dengan masih tingginya tingkat buta huruf terutama di daerah pedesaan dan pegunungan, banyak anggapan-anggapan dari para warga pendatang bahwa hal ini di sebabkan karena penduduk asli Papua masih sangat menjunjung tinggi adat yang dimilikinya.
Di SMA Neg.1 Warmare ini tak sedikit dijumpai siswa-siswi yang usianya tidak sesuai dengan usia anak SMA yang semestinya (Usia 15-18 Tahun) banyak siswa yang telah menginjak usia 25 tahun bahkan telah memiliki keluarga, ini membuktikan bahwa semangat mereka untuk mendapatkan pendidikan amatlah besar yang siapa saja berhak mendapatkannya yang bahkan tak mengenal usia.
Siswa-siswi berasal dari beberapa daerah, baik itu Papua asli (Suku Aitinyo, Aefak, Asmat, Agast, Dani, Ayamaru, Mandacan, Biak, Serui, Mee, Amungme, Kamoro) dan pendatang (Suku Jawa, Makassar, Bugis, Batak, Minahasa, Huli), karena bercampurnya putra daerah dengan para pendatang terkadang putra daerah merasa iri terhadap para pendatang, mereka beranggapan para guru hanya menyukai para pendatang dan tidak memandang keberadaan mereka, sehingga banyak perilaku-perilaku putra daerah yang tak semestinya dilakukan kepada gurunya, yang semata-mata hanya ingin mendapatkan perhatian. Tetapi saya tetap memiliki semangat untuk mengajar mereka, meskipun saya sering di buatnya menangis, akibat ulah-ulah mereka didalam kelas maupun diluar kelas, misalnya mencaci saya ketika saya menegurnya bahkan memberontak didalam kelas ketika proses belajar, karena mereka betul-betul membutuhkan kami untuk masa depannya kelak.
Siapa lagi yang akan memberikan pendidikan yang berkualitas untuk mengubah dan mengejar ketertinggalan mereka kalau bukan kita sendiri, meskipun kesulitan-kesulitan yang kami alami dalam menghadapi mereka amatlah banyak, misalnya masih belum lancarnya baca dan tulis sehingga saya kadang kala merasa mengajar anak SD cara membaca dan menulis, yang parahnya lagi jika mereka di beri tugas, kami tidak memberikan hukuman atau memarahi mereka sebab putra daerah sangat sensitif (cepat tersinggung), dan jika mereka tersinggung banyak hal-hal di luar dugaan yang yang bisa saja terjadi, seperti siswa memukuli guru, mengejar guru dengan parang panjang, memanah guru dengan busur, bahkan keluarga besar mereka turun tangan datang mengamuk di sekolah dan main denda(berupa uang). Kejadian ini sudah sangat sering saya jumpai dan bahkan saya pernah mengalami sendiri, akibat kejadian itu, rasa takut dan kekhawatiran terus menghantui. Dengan alasan itu penanganan pendidikan di papua ini tidak bisa dilaksanakan dengan cara biasa namun harus dilakukan secara khusus, ini yang membuat beban yang kami pikul selama bertugas di sini amatlah berat, karena inilah tanggung jawab kami sebagai peserta SM-3T.
Yang membuat saya terharu terhadap mereka, selesai pengumuman kelulusan mereka datang di depanku dan berkata “Ibu maafkan kelakuan kami yang kurang sopan, tong memang memiliki watak yang keras tapi semua ada alasannya mengapa tong melakukan itu, itu semua karena tong juga membutuhkan perhatian”.
Satu kata itu “PERHATIAN” yang membuat saya tercengang sejenak,Ochhh…………….ternyata selama ini mereka merasakan kurangnya perhatian yang mereka dapatkan selama ini.
(Marfuah Rasyid, S.Pd, Fizika)