Babi atau “wam” menjadi icon primadona masyarakat asli (suku Dani, Yali, dan Lani) di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Babi sehari-hari menjadi bagian kehidupan mereka dan tidak bisa lepas dari apapun. Babi menjadi sebuah komoditi berharga. Acara pernikahan, babi menjadi mas kawin. Bisa satuan, puluhan bahkan ratusan babi bila kepala suku atau tokoh yang punya hajatan kawin. Perang antar suku, babi menjadi kunci damai dengan membayar ganti rugi puluhan babi. Acara syukuran adat, babi mesti ikut serta dengan cara dibakar atau biasa disebut “bakar batu.”
Babi juga tinggal serumah dengan pemiliknya dalam honai (rumah tradisional). Babi harus dijaga dan dirawat baik. Tidak masalah babi tinggal dalam honai dengan mereka. Pemandangan tersebut lazim dijumpai. Bila pagi tiba, mama-mama keluar mengurusi keperluan rumah. Selang waktu sebentar, babi tersebut keluar dari dalam honai tempat mama tersebut tinggal. Begitu masyarakat Pegunungan Tengah Papua menyayangi babi. Mama-mama juga biasa menyusui babi dengan payudaranya sendiri. Hal ini memberi arti bahwa, babi mesti diberi nutrisi layak dan bergizi karena umpan balik (tuah) babi tersebut berarti bagi mereka.
Pentingnya arti kehadiran babi di tengah-tengah kehidupan masyarakat Pegunungan Tengah Papua menjadikan harga jual babi tersebut mahal. Mahal? Iya mahal. Karena babi sangat berharga di sini. Nilai jual babi bisa mencapai kisaran harga tertinggi Rp 20-30 juta. Bila dibanding daerah lain, tentu harga babi tidak semahal itu. Sekali lagi, babi bagi masyarakat Pegunungan Tengah Papua sangat berharga.