Menilik Sejarah dan Marwah SM-3T


Ibu yang mencerdaskan, menyayangi dan membesarkan

Suatu sore pada bulan September 2011, saya bersama Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Prof.Djoko Santoso diundang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Prof. M. Nuh. Kepada saya, Mendikbud (ketika itu Mendiknas) berkata, “Pak Pri, apa bisa guru kita digembleng di daerah sebelum mereka diangkat beneran jadi guru?”. Di dalam penjelasan lanjutnya, beliau menyinggung model seperti penugasan dokter ke daerah terpencil sebelum mereka resmi membuka praktek kedokteran.

Pertanyaan itu saya mengerti bukan sekadar pertanyaan, melainkan sebuah perintah dan tantangan. Tantangan yang dikemas dalam kalimat tanya itu sekaligus menyiratkan keresahan akan kualitas guru kita. Betapa lulus dari lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) dan menyandang gelar sarjana pendidikan (S.Pd.) belumlah cukup untuk menjadi guru yang sebenarnya. Para calon guru itu masih perlu digembleng terlebih dulu lahir dan batinnya supaya menjadi sosok pendidik yang cerdas, tangguh, ramah sosial dan penyayang. Sebagai dosen LPTK saya mengamini adanya defisit kompetensi pada mahasiswa calon guru  sekarang ini terutama pada aspek kompetensi kepribadian dan sosialnya.

Berangkat dari tantangan itulah lahir gagasan untuk merancang program yang bisa dengan segera memenuhi kebutuhan guru di pelosok negeri sekaligus sebagai medan penggemblengan anak-anak muda calon guru. Pada tahap awal lahirlah konsep penerjunan guru Sarjana (Pendidikan) Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal yang kini dikenal dengan singkatan SM-3T. Dalam waktu kurang dari 2 bulan, pada bulan November 2011 telah dituntaskan penerjunan lebih dari 2400 Sarjana Pendidikan angkatan pertama ke Aceh, Papua dan Nusa Tenggara Timur untuk bertugas di sekolah-sekolah yang berlokasi jauh di pedalaman di 14 Kabupaten yang sebelumnya tergolong tak terjangkau oleh akses pendidikan.

Mengingat masa penugasan sarjana itu hanya dalam waktu satu tahun, maka sejak awal disadari bahwa SM-3T adalah solusi sementara terhadap persoalan kekurangan guru di daerah 3T. Pada tahap selanjutnya lahirlah konsep Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi (PPGT), yaitu merekrut dan menyiapkan lulusan SMA/SMK dari daerah 3T untuk dididik selama 5 tahun di LPTK terkemuka untuk kelak setelah lulus akan bertugas sebagai guru membangun daerahnya masing-masing. Justru guru-guru SM-3T yang sangat berjasa dan berperan sebagai katalisator, tim “pencari bakat” mutiara-mutiara terpendam yang selama ini kurang terasah. Kini sekitar 1500 kader muda daerah 3T diasramakan di sejumlah LPTK terkemuka dengan pendekatan pendidikan multi budaya. Kombinasi solusi sementara (SM3T) dan solusi permanen (PPGT) ini kemudian dipayungi oleh program Maju Bersama Mencerdasakan Indonesia (MBMI).

Karena itulah, saya sering mengibaratkan MBMI sebagai hutan besar. PPGT merupakan tanaman kerasnya. Sebagai tanaman keras, butuh waktu relatif lama untuk memetik buah atau memanfaatkan pohonnya sebagai bahan bangunan, misalnya.Adapun SM-3T saya ibaratkan sebagai tanaman tumpangsari.Tanaman tumpangsari adalah tumbuhan yang ditanam di sela-sela tanaman keras. Berbeda dari tanaman keras, tanaman tumpangsari bisa dipetik dalam waktu relatif singkat, jauh lebih singkat dari tanaman keras, sehingga sambil menunggu tanaman keras cukup usia untuk dipanen hasilnya, tanaman tumpangsari bisa ditanam dan dipetik hasilnya berkali-kali.

Pendidikan yang menginduksi

Di atas sudah disinggung sekelumit sejarah lahirnya SM-3T. Saya ingin  mengulas lebih jauh suasana kebatinan diskusi awal tentang program ini.  Ketika Pak Nuh menyinggung daerah terpencil yang notabene masih kekurangan guru sebagai arena penggemblengan, dengan cepat saya teringat cerita yang sering dikisahkan oleh bu Mesirah (ibu saya) tentang pendidikan di akhir tahun 40-an di kampung saya, Desa Bendorejo, Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, yang ketika itu situasinya mirip dengan daerah terpencil sekarang, kekurangan guru. Bahkan pada jaman itu sekolah hanya sampai kelas 3, dan untuk melanjutkan ke kelas selanjutnya harus pergi ke Kawedanan Srengat sekitar 10 km dari kampung dengan melewati 5 Sungai, termasuk Sungai Lahar (Kali Laar) yang terbentuk oleh aliran lahar G. Kelud di Desa Sumbersari yang terkenal itu.

Di kemudian hari saya baru memahami kenapa bu Mesirah selalu berapi-api ketika sedang berbicara tentang pendidikan?, ternyata beliau menyimpan “dendam” karena tidak kesampaian cita-citanya untuk bisa bersekolah seperti kedua adiknya. Suatu petang bertanyalah saya kepada ibu yang melahirkan saya itu.“Mbok, kenapa Panjenengan dulu tidak sekolah, kelas 3 selesai terus menikah? Kenapa adikmu, Bulik Satsiyati, yang hanya selisih tiga tahun, sekolah insinyur di Universitas Gadjah Mada, terus jadi pegawai di Kementerian Pertanian hingga golongan IVe?”tanya saya dalam bahasa Jawa. Juga Bulik bungsu Tusriyah bisa sekolah sampai sarjana di Universitas Diponegoro.

Saya bertanya begitu, karena lama dalam benak saya berkelindan pikiran, apa yang menyebabkan tiga orang itu berbeda secara formal. Bukankah Simbok dan Bulik Sat juga Bulik Tus lahir dari rahim yang sama? Bukankah mereka tumbuh dalam asupan makanan yang kurang-lebih sama, juga di lingkungan yang sama?. Di samping itu, sejak remaja saya sudah mengamati dan suka membandingkan khususnya kepada ketiga sosok itu, meski tingkat pendidikannya berbeda jauh ibarat bumi dan langit, tetapi cara berfikir dan tutur kata bu Mesirah lebih berisi, terstruktur, bijaksana dan pedagogis dibandingkan dengan hal yang sama pada kedua adiknya tersebut. Sering terbayang seandainya beliau dulu mendapatkan kesempatan sekolah maka sudah pasti saya akan menjadi anak seorang doktor atau professor.

Sepertinya Simbok (Ibu) tidak ingin menjawab pertanyaanku secara langsung, alih-alih ia berkisah, “Setelah aku menikah, tahun 1948 ada agresi militer Belanda. Saat itu banyak guru mengungsi ke pedalaman dan menumpang di rumah Mbah (Eyang). Nah, karena di sana adaguru, anak-anak rajin belajar, apalagi setelah guru-guru itu mendirikan sekolah di desa kita”. Dengan pandangan jauh menerawang ke depan ibu melanjutkan“keberadaan guru itu  juga membuat sikap Mbah akhirnya  luluh dan mengijinkan anak-anak pergi sekolah”, imbuhnya dengan suara pelan setengah berbicara kepada diri sendiri.

Kehadiran guru dan sekolah di desa kami telah mengubah nasib seluruh penghuni desa yang ketika itu tergolong daerah pedalaman nan jauh dari keramaian.Yang disebut Mbah oleh ibu saya adalah Mbah Inah, nenek saya dari trah Bani Kasan-Tinem. Mbah Inah mempunyai lima anak yang kesemuanya perempuan, Satipah, Mesirah, Mesiratin, Satsiyati, dan Tusriah.Dari semua anak Mbah Inah, hanya dua terakhir yang bersekolah. Bulik Sat kemudian menjadi sangat terkenal karena menjadi insinyur pertama di kampung, dan boleh jadi yang pertama di kecamatan. Rupa-rupanya kedua bibi tadi terinduksi oleh suasana belajar yang tercipta kala itu, yakni suasana yang terbangun oleh guru-guru yang mondok semasa agresi militer Belanda tahun 1948.

Dua bibi yang mendapatkan kesempatan bersekolah ternyata berkarier sangat baik dan menjadi ikon kesuksesan dan kiblat pendidikan bagi para pemuda-pemudi kampung. Kami para generasi berikutnya baik yang masih ada hubungan darah maupun tidak, ikut menikmati dan merasakan suasana akademik untuk selalu ingin belajar dan bersekolah. Kini desa mungil di lereng G. Kelud yang dulu dihuni oleh sekitar 1000  jiwa itu telah menjelma menjadi desa yang sangat maju khususnya di bidang pendidikan, setidaknya telah melahirkan 2 profesor, puluhan doktor, magister dan sarjana.

Puji syukur alhamdulillah, kini saya yang saat ini bertugas di Kemendikbud mendapatkan rizki, rahmat dan amanah untuk memutar kembali sejarah  60 tahun lalu yang telah menyulap nasib desa kami, menghadirkan guru sarjana pendidikan ke daerah terdepan, terluar dan terpencil (3T) yang selama ini kurang tersentuh akses pendidikan. Sejak awal saya sering membayangkan binar sorot mata anak-anak  Papua, Aceh atau Nusa Tenggara Timur ketika kelak bertemu dengan guru yang menyayanginya. Saya yakin mereka adalah anak yang lugu nan cerdas yang kelak bisa dititipi untuk menjaga Negara yang indah ini.

Saya sebut rizki dan rahmat, pertama karena tugas ini merupakan kesempatan membalas budi baik para guru magersari di rumah nenek, yang tentu saja saya tidak mengenalnya,  yang telah berhasil “mengobrak-abrik” pakem kultural di kampung saya. Kedua, saya menemukan “titik temu keadilan” antara tugas di kementerian dan kewajiban anak berbakti kepada orang tua.Sebagai representasi pemerintah, Kemendikbud sekarang ini lebih tampak sosoknya sebagai institusi yang pro kepada keadilan, misalnya melalui slogannya “menjangkau yang tak terjangkau” dengan berbagai ragam program intervensi dan afirmasinya.

Di banyak nasehatnya bu Mesirah sangat jernih menjelaskan definisi tentang adil, yaitu sikap mengambil posisi berpihak kepada yang kurang beruntung. Seolah beliau ingin menjelasan posisinya yang selama ini lebih “tegaan” kepada saya daripada kepada saudara saya lainnya yang kurang beruntung. Karena kami sembilan bersaudara, beliau sering mencontohkan induk ayam yang mengerami sembilan telornya. Angka sembilan ini sangat konsisten dari satu nasihat ke nasihat lain, tidak pernah berubah menjadi tujuh, delapan atau sepuluh. Sejumlah telor menetas normal karena beruntung mendapatkan kehangatan sempurna dari sang induk, tetapi sejumlah lainnya kurang beruntung kurang menerima kehangatan sang induk. Yang terpenting menurut beliau, harus ada mekanisme keadilan yang mengalir dari kebesaran hati anak yang beruntung. Itu cara pedagogis beliau untuk menyatakan saya adalah anak yang beruntung dan harus  peduli membantu saudara lain karena kerukunan/kesatuan itu hanya dapat diwujudkan melalui keadilan.

Sebagaimana nasihat Ibu yang senantiasa terngiang-ngiang di telinga tentang keharusan membantu yang berkesusahan, lemah, dan kecil, saya pun berpandangan bahwa tugas pemerintah pada hakekatnya adalah membesarkan yang kecil dan lemah melalui serangkaian intervensi dan afirmasi. Karena itulah, program-program Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ditjen Dikti sebisa mungkin diarahkan pada program untuk membangkitkan “yang kecil”. Sebab, tak jarang orang sering punya kecenderungan mengangkat hal-hal yang sudah besar tanpa memedulikan yang kecil. Seharusnya, yang kecil diangkat dan yang besar otomatis akan terangkat pula karena si kecil pasti berinteraksi dengan yang besar. Intervensi dan afirmasi pendidikan saya yakini merupakan langkah ampuh untuk menginduksi perubahan sosial  dengan dampak ikutan yang kemungkinan tak terbayangkan. Melalui program SM3T yang sudah berjalan 3 tahun ini, saya pun menemukan makin banyak alasan untuk mengatakan itu.

***

Secercah Indonesia Baru

Secercah sinar Indonesia baru justru terpancar dari berbagai pelosok negeri. Di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T), para sarjana mendidik telah menunjukkan cara merawat negara kesatuan yang amat besar lagi plural ini. Tak hanya mengajar di sekolah, ribuan sarjana pendidikan itu berusaha meleburkan diri untuk menjadi bagian dari kehidupan sosial tempat mereka tinggal. Setahun mengabdi, setelah itu mereka mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang merupakan bagian dari program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia (MBMI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Persentuhan antara “ketakterjangkauan” daerah 3T dan semangat pengabdian anak-anak muda, perlahan tetapi pasti menunjukkan bukti kesanggupannya untuk mengikis karang primordial. Pertimbangan “putra daerah” dengan segenap medan makna yang terbangun di dalamnya, yang sering dijadikan variabel penentu dalam pemilihan maupun pengangkatan aparatur namun sesungguhnya potensial membuat bangsa ini jalan mundur dalam konteks persatuan dan kesatuan, justru tidak menemukan relevansinya dalam program ini. Sebab, spirit yang kemudian terbangun, baik pada diri sarjana mendidik yang melakukan pengabdian, para siswa, guru, maupun masyarakat, adalah spirit dalam satu dekapan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ketika kali pertama diluncurkan pada 2011, program SM-3T sempat diragukan akan diminati para sarjana baru. Kenyataannya, jumlah pelamar membeludak hingga di atas 10.000 dari kuota 3.000 yang disediakan, hingga 2.400 peserta dinyatakan layak dan diberangkatkan. Setelah setahun bertugas di daerah pengabdian, mereka mengikuti tahap penggemblengan karakter di asrama dan pendidikan profesi guru (PPG) di berbagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Yang kemudian tidak terduga adalah 78% peserta mengajukan diri untuk bertugas kembali di daerah 3T setelah kelak menamatkan PPG. Benar-benar telah terjadi pergeseran cara pandang anak muda terhadap makna Indonesia.

“Awalnya saya mengikuti program ini karena tertarik akan mendapatkan pekerjaan sekaligus insentif bulanan. Namun setelah sebulan berjalan, saya merasa harus menjadi bagian dari upaya untuk mencerdaskan anak-anak di wilayah tertinggal ini,” ungkap Sandra Novita, peserta SM3T di Ruteng, Nusa Tenggara Timur.

Kedatangan peserta SM-3T bak curahan hujan saat kemarau panjang. Anak-anak yang sebelumnya enggan bersekolah, dengan kehadiran para sarjana mendidik itu merasakan sentuhan kasih sayang dari guru muda yang disebutkannya sebagai bapak ibu guru yang “baik dan tara pakai kekerasan”. Tak mengherankan jika kemudian sempat muncul kekhawatiran sebagimana diungkapkan Andrianus Usior siswa SMP Negeri 3 Oridek Biak Numfor Papua, “Tidak bisakah masa kontrak mereka diperpanjang? Ibu Kartini yang mengajar kami, kalau bisa jangan pulang, tetaplah di sini.”

Pengabdian SM-3T tidak saja telah mengubah cara pandang para pemuda dan anak-anak tentang makna negara kesatuan, tetapi juga mengobrak-abrik “pakem” yang selama ini dianut oleh sebagian besar  pemerintah daerah. Tak terbantahkan bahwa pertimbangan “putra daerah” hingga kini masih menjadi pertimbangan dalam pengangkatan, promosi, maupun pemilihan aparat di sejumlah wilayah.

Karena itu, pernyataan sebagaimana diungkapkan oleh Bupati Biak Numfor, Bupati Alor, dan beberapa kepala daerah lainnya untuk bersedia menerima para SM-3T menjadi guru tetap di daerah masing-masing setelah mereka menamatkan pendidikan, adalah nutrisi yang makin menyehatkan bangunan NKRI.

Tidak hanya di tingkat elite perasaan semacam itu muncul. Seorang peserta SM-3T di Pulau Numfor, Biak Numfor, Papua menuturkan pengalamannya setelah sebulan berada di wilayah pengabdian. “Tahu kalau kami jauh-jauh datang dan sungguh-sungguh mengajar, mereka bilang, kalau bapak guru sama ibu guru tak diangkat di sini, kami siap angkat parang,” katanya.

Nukilan kisah lain yang tak kalah menggetarkan datang dari ujung barat republik ini. Desa itu lebih barat dari Sabang, termasuk kawasan di Pulau Breueh yang selama 24 jam penuh tanpa aliran listrik. Namanya Desa Rinon, termasuk wilayah Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar. Konon, berasal dari kata RI non yang bisa berarti bukan RI, namun ada pula yang menyebutkan berasal dari kata RI nol. Maksudnya di sanalah letak titik nol Republik Indonesia. Enam presiden silih berganti di negeri ini, namun belum pernah anak-anak sekolah di sana mengibarkan Merah Putih dengan iringan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dalam sebuah upacara. Hingga kemudian, para sarjana mendidik itu datang melakukannya bersama guru dan murid SD. Kini, sang saka Merah Putih senantiasa dikibarkan di depan gedung sekolah dan anak-anak riang sekali menyanyikan “Indonesia Raya” pada setiap kesempatan.

Ibu Pertiwi

Para leluhur telah mengajarkan bahwa negara kita secara idiomatik disebut sebagai ibu pertiwi, bukan bapak pertiwi. Negara yang dicita-citakan oleh nenek moyang (bukan kakek moyang) adalah negara  yang memiliki spirit keibuan sekaligus watak kodrati asah, asih, dan asuh. Makna asah itu mencerdaskan, asih itu menyayangi dan asuh itu membesarkan. Inilah prinsip dasar sistem among yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara.

Demi menyimak cerita dan menyaksikan langsung kiprah para peserta SM-3T di wilayah pengabdian, saya merasa spirit keibuan yang secara sangat sederhana telah dijalankan oleh Simbok, kini mengalami transformasi bentuk tanpa kehilangan nilai kehakikiannya. Betapa dari pelosok Kabupaten Biak Numfor, Papua, dan dari pelosok lain, kita bisa mendengar kisah para peserta SM-3T yang mengampanyekan secara nyata pendidikan tanpa kekerasan. “Pak Guru dan Bu Guru yang baru kalau mengajar tara pakai kekerasan,” tutur Andrianus Usior, murid kelas IX-A SMP Negeri 3 Oridek Biak Numfor tentang peserta SM-3T yang mengajari dia dan teman-temannya.

Diajar oleh guru muda tanpa kekerasan, tetapi justru dengan sentuhan hati dan kasih sayang, merupakan sesuatu yang baru bagi Andrianus dan teman-teman. Sebab, menurut pengakuan dia, selama ini bilah-bilah bambu terlalu sering mendarat di tubuhnya jika ia tidak bisa  menjawab pertanyaan guru atau dianggap melakukan kesalahan. Alhasil, dengan pengajaran tanpa kekerasan itu, Andrianus dan teman-teman yang sebelumnya enggan berangkat ke sekolah, menjadi sangat rajin masuk sekolah. Bahkan dia pun berujar, “Kami semangat belajar sekarang. Kalau Pak Guru dan Bu Guru pergi, meninggalkan Papua, kami bagaimana?”

Mereka memberi tetapi juga mendapatkan. Perjumpaan secara langsung dengan sesama warga republik ini yang berlatar belakang sosial budaya, bahkan agama, yang berbeda adalah pengalaman yang tiada ternilai harganya dalam upaya turut membangun fondasi keindonesian yang lebih kukuh. Karena itu, SM-3T hadir bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan guru di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal. Lebih dari itu, para peserta program itu telah mampu menginduksi, mampu menginspirasi, tidak hanya pada diri sendiri tetapi dengan   yang mereka jumpai di wilayah pengabdian.

Perbedaan budaya akhirnya menyuburkan pemahaman dan toleransi. Saat para peserta diterjunkan di daerah Lembata yang mayoritas pemeluk Kristen, sempat terjadi penolakan terhadap “penerjunan pasukan berkerudung”. Sebutan ini hanya untuk komunikasi informal kami untuk mengatakan bahwa peserta putri sangat mendominasi SM3T. Ketika  itu kami menerima surat yang ditandatangani oleh para tokoh masyarakat setempat. Kami pun mengirimkan balasan dengan menyatakan kalau memang masyarakat tak berkenan, peserta akan kami tarik untuk dialihkan ke daerah lain. Namun para anggota DPRD yang justru datang ke Jakarta. Mereka malah khawatir kalau tak mendapatkan SM3T lagi, sebab kehadiran mereka sangat dirasakan manfaatnya. Seorang tokoh masyarakat setempat bahkan berucap, “Kami tak menolak. Cuma, kami merasa bersalah ketika di satu kecamatan tak ada tempat ibadah untuk mereka yang muslim. Kami merasa bersalah jika mereka butuh ibadah, kami tak punya fasilitas.”

Ya, hanya ibulah yang memiliki kesanggupan menyatukan. Dari lima jari di tangan,  jempol biasa disebut sebagai ibu jari, personifikasi ibu. Pada ujung lain, jari kelingking merupakan personifikasi bapak, sedangkan tiga yang diapit, yakni telunjuk, jari tengah, dan jari manis adalah anak-anak dengan segala macam kesamaan dan perbedaannya. Jika ibu jari dan kelingking dipertemukan, ketiga jari yang diapit akan dengan sempurna bertemu. Begitulah idealnya, bila bapak dan ibu menyatu, anak-anak pun bertemu. Meski demikian, tanpa kelingking, ibu jari masih bisa bersentuhan secara mudah dengan telunjuk, jari tengah, dan jari manis yang notabene anak-anaknya. Namun cobalah kelingking sendirian tanpa ibu jari, ia akan kesulitan bersentuhan dengan jari manis, jari tengah, apalagi telunjuk.

Ujung tulisan ini begitu sulit saya selesaikan, beberapa kali pikiran dan tanganku terhenti di depan komputer, air mata deras mengucur tanpa tersadari. Bagiku, kalian berdua telah menjadikan  tema SM3T menjadi sangat penuh emosi. Winda dan Geuget, guru muda cerdas nan pemberani itu telah pergi, gugur menunaikan tugas Ibu Pertiwi.

Catatan

Winda Yulia  dan Geuget Zaludiosanva Annafi adalah dua guru peserta SM3T dari UPI yang bertugas di pedalaman Kabupaten Aceh Timur. Keduanya gugur menjalankan tugas di akhir November 2012 ketika perahu yang ditumpanginya terbalik di Sungai Simpang Jernih. Atas jasa-jasanya, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan Penghargaan Pendidikan kepada Winda dan Geuget pada puncak peringatan Hari Guru Nasional tanggal 4 Desember 2012 di Sentul International Convention Center, Jakarta. Kini nama Winda dan Geuget diabadikan sebagai nama ruang kerja dan ruang rapat di Ditjen Dikti, gedung D lantai 5.

–Supriadi Rustad, Penggagas dan Pendiri Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia Kemendikbud (2010-2015)

(Dikunjungi : 209 Kali)

.

Apa Reaksi Anda?

Terganggu Terganggu
0
Terganggu
Terhibur Terhibur
0
Terhibur
Terinspirasi Terinspirasi
0
Terinspirasi
Tidak Peduli Tidak Peduli
0
Tidak Peduli
Sangat Suka Sangat Suka
0
Sangat Suka

Komentar Anda

Share